Empat mahasiswa pro-Palestina Universitas Melbourne menghadapi ancaman serius setelah ikut aksi di kampus Parkville pada Oktober 2024. Dua di antaranya direkomendasikan dikeluarkan, sementara dua lainnya diskors. Keputusan ini memicu sorotan luas soal kebebasan berpendapat di kampus Australia.
Dua mahasiswa dari Universitas Melbourne direkomendasikan untuk dikeluarkan, sementara dua lainnya diskors kuliah karena ikut serta dalam aksi pro-Palestina yang berlangsung di kampus Parkville pada Oktober 2024.
Jika keputusan ini disahkan, mereka akan menjadi aktivis mahasiswa pro-Palestina pertama di Australia yang dikeluarkan atau diskors kuliah sejak gelombang demonstrasi besar-besaran yang terjadi pasca serangan Zionis Israel di Gaza pada 2023.
Mahasiswa Pro-Palestina Universitas Melbourne
Keempat mahasiswa tersebut dilaporkan ke komite disiplin universitas setelah terungkap bahwa mereka merupakan bagian dari sekitar 20 mahasiswa yang menduduki kantor seorang dosen selama kurang lebih 90 menit pada 9 Oktober. Aksi itu ditujukan sebagai bentuk protes terhadap dugaan hubungan kerja sama Universitas Melbourne dengan Hebrew University of Jerusalem.
Para mahasiswa yang ikut dalam aksi protes itu menuntut agar University of Melbourne menghentikan kerja sama dengan berbagai institusi pendidikan di Israel.
Namun, pihak universitas menuduh para demonstran telah mengintimidasi staf yang bekerja di kantor tersebut dan merusak properti di dalamnya.
Sebaliknya, para mahasiswa membantah tuduhan tersebut. Mereka menegaskan bahwa aksi yang dilakukan bersifat damai dan telah memberi tahu orang-orang di sekitar lokasi mengenai maksud unjuk rasa mereka.
Salah satu mahasiswi yang terancam dikeluarkan, yang identitasnya disamarkan menjadi Niamh demi alasan keamanan, mengungkapkan kepada Guardian Australia bahwa dirinya tetap dinyatakan “bersalah” oleh komite disiplin universitas, meskipun ia hanya berada di lokasi aksi selama sekitar 10 menit.
Baca Juga:Meningkatnya Populasi Muslim di Eropa: Potret Komunitas Islam di Kosovo
Dokumen yang diperoleh Guardian Australia menunjukkan bahwa Niamh tidak terbukti melakukan tindakan apapun yang dapat dikategorikan sebagai “tindakan intimidasi atau pelecehan” terhadap staf yang bekerja di kantor tersebut. Namun, dia tetap dianggap bersalah hanya karena berada di ruangan tempat berlangsungnya aksi protes tersebut.
Keempat mahasiswa yang terancam sanksi itu berencana untuk mengajukan banding atas keputusan yang dinilai tidak adil ini. Niamh menyampaikan kepada Guardian Australia bahwa dirinya meyakini keputusan universitas tersebut dibuat berdasarkan prasangka, sejalan dengan pendapat sejumlah pihak yang menilai sikap Universitas Melbourne terhadap unjuk rasa pro-Palestina sebagai represif dan otoriter.
“Universitas Melbourne telah mengikuti prosedur disiplin sesuai kebijakan yang berlaku dalam menangani insiden yang terjadi pada Oktober 2024,” ujar seorang juru bicara universitas.
Sementara itu, Guardian melaporkan pada Minggu (1/6/2025) bahwa tahun lalu seorang mahasiswa Australian National University yang sempat dikeluarkan dan seorang mahasiswa Deakin University yang diskors kuliah akibat aktivitas pro-Palestina berhasil memenangkan gugatan mereka, sehingga keputusan kampus dibatalkan.