Masyarakat kita saat ini masih terbelenggu oleh fenomena syirik, yang salah satunya disebabkan oleh keyakinan bahwa Benda Keramat memiliki kekuatan gaib atau sakti. Pandangan ini, sejatinya, merupakan warisan pemikiran primitif dari era jahiliyyah berabad-abad silam. Meskipun demikian, nyatanya keyakinan ini masih melekat kuat di hati sebagian umat Islam, layaknya penyakit kronis yang terus mengikis keimanan mereka dan berpotensi kambuh mendadak. Artikel ini bertujuan untuk mengungkap bahwa pemikiran semacam itu adalah keliru dan harus segera ditinggalkan.
Pemahaman Salah Tentang Keagungan Benda Keramat: Menurut Jahiliyyah
Dalam momen introspeksi, kita menemukan bahwa salah satu sumber masalah praktik syirik di tengah-tengah kita adalah kepercayaan terhadap kekuatan mistis benda-benda mati. Benda-benda tersebut, dipercaya memiliki kesaktian atau keistimewaan yang luar biasa, hingga digunakan sebagai amulet, senjata gaib, atau obat ajaib. Kepercayaan ini tidak lebih dari sekedar ilusi dan mitos belaka.
Tak terkecuali di kalangan umat Islam di negeri ini, dimana benda-benda seperti batu akik masih dipandang memiliki daya magis, atau pusaka kuno seperti keris dan tombak kerajaan dianggap mengandung kekuatan supranatural. Tidak jarang, orang rela mengeluarkan banyak uang untuk mengumpulkan benda-benda tersebut demi tujuan tertentu.
Di sisi lain, ada pula yang mengkeramatkan pohon tua rindang berusia ratusan tahun dengan akar yang menjulang, meyakini bahwa pohon tersebut dapat membawa berkah. Maka tidak heran, jika kita melihat mereka menghadiahkan korban di bawah pohon tersebut sebagai bentuk penghormatan.
Kepercayaan ini menandai salah satu ciri khas masyarakat musyrik jahiliyyah sebelum kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana mereka menaruh harapan dan kehidupan pada benda-benda mati yang mereka anggap dapat membawa keuntungan dan menghindarkan dari bencana. Akhirnya, pandangan semacam ini menjerumuskan mereka ke dalam peribadatan terhadap objek-objek tersebut, sebuah topik yang akan dibahas lebih lanjut di bagian kedua artikel ini.
Namun, kepercayaan khurafat seperti ini telah dihapus dengan diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika beliau berkhutbah pada Haji Wada’,
أَلاَ كُلُّ شَىْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ تَحْتَ قَدَمَىَّ مَوْضُوعٌ
“Ketahuilah, seluruh perkara jahiliyyah terkubur di bawah kedua telapak kakiku.”
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘(Terkubur) di bawah kedua telapak kakiku’, (hal ini) merupakan isyarat akan terhapusnya perkara tersebut.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
“Jika Engkau meminta, mintalah kepada Allah. Dan jika Engkau memohon pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah.”
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,
دَخَلَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مَكَّةَ وَحَوْلَ الْبَيْتِ سِتُّونَ وَثَلاَثُمِائَةِ نُصُبٍ فَجَعَلَ يَطْعُنُهَا بِعُودٍ فِى يَدِهِ وَيَقُولُ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا جَاءَ الْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ الْبَاطِلُ وَمَا يُعِيدُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki kota Mekah dan di sekitar Ka’bah terdapat tiga ratus enam puluh buah patung. Maka beliau menusuk patung-patung itu dengan sebilah kayu yang ada di tangannya sambil mengatakan, ‘Dan katakanlah, ‘Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap’. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.’ ‘Katakanlah, ’Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi”
Batu di Mekah yang Bisa Berbicara
Sebuah kisah menakjubkan dari Mekah mengungkapkan tentang batu yang mampu menyapa Nabi Muhammad SAW sebelum beliau diangkat menjadi rasul. Keunikan batu ini diakui oleh Nabi Muhammad SAW, yang menyatakan masih mengenali batu tersebut setelah menjadi Rasul. Namun, penting dicatat bahwa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat tidak pernah mencari atau menganggap batu ini sebagai objek keramat. Jabir bin Samrah RA menyampaikan kata-kata Nabi:
“Sesungguhnya aku mengetahui sebuah batu di Mekah yang memberi salam kepadaku, sebelum aku diangkat menjadi Nabi. Sesungguhnya aku masih mengetahuinya sampai sekarang.”
Ucapan salam dari batu ini bukan sekadar kiasan, menurut Al-Manawi, Allah SWT memberikan kemampuan berbicara kepadanya, mirip dengan kisah batang kurma yang bisa bicara. Syaikh Al-Mubarakfuri menambahkan, batu tersebut mengucapkan salam dengan menyapa, “Assalaamu ‘alaika, Ya Rasulullah,” menegaskan kemukjizatan yang Allah SWT berikan.
Namun, Nabi Muhammad SAW tidak menjadikan batu ini sebagai amulet atau objek keramat. Kisah serupa terjadi dengan batang kurma yang menangis saat Nabi Muhammad SAW berpindah dari bersandar padanya ke mimbar baru. Nabi Muhammad SAW menghentikan tangisannya dengan pelukan, bukan untuk mendapatkan berkah, melainkan sebagai tindakan kasih sayang.
Hajar Aswad: Penghormatan tanpa Mitos Kesaktian
Kemudian, kita berpindah ke Hajar Aswad, batu yang diakui semua umat Islam sebagai batu paling mulia. Jutaan jamaah haji berusaha menciumnya, mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW menyatakan Hajar Aswad berasal dari surga, lebih putih dari susu sebelum dosa manusia menghitamkannya. Meski memiliki keistimewaan ini, Nabi Muhammad SAW dan para sahabat tidak pernah memandangnya lebih dari sekadar batu yang tidak memiliki kekuatan supernatural.
Kisah-kisah ini menekankan pentingnya memurnikan aqidah dari kepercayaan khurafat dan mengajarkan umat Islam untuk tidak menempatkan keyakinan atau harapan pada objek mati. Nabi Muhammad SAW dan para sahabat menunjukkan teladan dalam mempraktikkan tauhid, mengarahkan segala bentuk ibadah dan permohonan hanya kepada Allah SWT, menghindari pengaruh jahiliyah yang menganggap benda-benda memiliki kekuatan gaib atau kesaktian.
Referensi:
[1] Pada bagian pertama ini, penulis banyak mengambil faidah dari tulisan Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, di Majalah As-Sunnah, Edisi 01 Tahun XIII, Rabi’ul Tsani 1430 H.
[2] HR. Muslim no. 3009.
[3] Syarh Shahih Muslim, 4/312.
[4] HR. Tirmidzi no. 2516. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Tirmidzi.
[5] HR. Bukhari no. 4720.
[6] HR. Muslim no. 6078 dan Ahmad dalam Al-Musnad, 5/89.
[7] At-Taisiir bi Syarhi Al-Jami’ Ash-Shaghir, 1/747.
[8] Tuhfatul Ahwadzi, 10/69.
[9] HR. An-Nasa’i no. 1396. Dishahihkan oleh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan An-Nasa’i.
[10] HR. Tirmidzi no. 877. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi.
Sumber: https://muslim.or.id