Hukum mengambil buah di pinggir jalan tanpa izin pemilik dalam Islam sering kali menimbulkan pertanyaan. Dalam pandangan syariat, ada beberapa aturan terkait pemanfaatan harta milik pribadi, bersama, dan umum, yang memberikan panduan tentang situasi ini.
Pernahkah kamu melihat seseorang dengan mudahnya mengambil buah di pinggir jalan, padahal buah tersebut berasal dari pohon atau kebun milik orang lain? Bagaimana pandangan Islam mengenai hal ini?
Dilansir dari Konsultasi Syariah, terdapat tiga kategori terkait pemanfaatan harta dalam Islam yang perlu kita pahami:
Baca Juga : Mengungkap 9 Fakta Kurma Ajwa: Khasiat dan Keistimewaannya – Bicara Muslim
Hukum Mengambil Buah di Pinggir Jalan
- Harta Milik Pribadi
Harta yang dimiliki secara pribadi sepenuhnya berada di bawah hak pemiliknya, yang berhak menguasai dan memanfaatkannya sesuai keinginannya. Misalnya, jika kamu memiliki mobil, hanya kamu yang berhak untuk menggunakannya. Orang lain tidak boleh memanfaatkan harta ini tanpa izin pemiliknya, kecuali melalui cara yang sesuai syariat, seperti sewa, pinjam, atau akad sah lainnya. Mengambil atau memanfaatkan barang milik pribadi tanpa izin atau tanpa akad yang sah dianggap sebagai tindakan zalim.Allah SWT berfirman:
โHai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu,โ (QS. An-Nisa: 29). - ย Harta Pribadi yang Diizinkan Syariat untuk Dimanfaatkan saat Dibutuhkan
Ada beberapa jenis harta pribadi yang, meskipun milik seseorang, diizinkan oleh syariat untuk dimanfaatkan oleh orang lain tanpa izin pemiliknya dalam kondisi tertentu. Pada dasarnya, ini termasuk kategori harta milik pribadi, namun ada pengecualian dari syariat yang mengizinkan pemanfaatan dalam situasi darurat atau kebutuhan mendesak.
Contoh harta yang diizinkan syariat untuk diambil manfaatnya termasuk buah yang ada di kebun atau susu dari hewan ternak yang sedang digembalakan. Bagi seseorang yang sedang dalam perjalanan dan merasa lapar, syariat memperbolehkan untuk mengambil buah dari kebun selama hanya dimakan di tempat, tidak merusak, dan tidak dibawa pulang.
Nabi Muhammad ๏ทบ bersabda, โSiapa yang masuk ke kebun milik orang, silakan makan buahnya, dan jangan dibawa pulang,โ (HR. Tirmidzi 1334, hasan menurut Syuaib al-Arnauth). Dalam riwayat lain, beliau ๏ทบ menyatakan, โApabila kalian melewati kebun, silakan makan buahnya dan jangan dibawa pulang,โ (HR. Ibnu Majah 2301, sahih menurut Al-Albani).
Adapun untuk susu dari ternak, terdapat hadis dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu โanhu, di mana Nabi ๏ทบ bersabda, โApabila kalian masuk ke kebun orang lain dan ingin makan buahnya, panggil pemiliknya sebanyak tiga kali. Jika ada respon, minta izin. Jika tidak ada, silakan makan. Begitu pula saat melewati hewan gembalaan, panggillah pemiliknya sebelum minum susunya.โ (HR. Ahmad 11045, hasan menurut Syuaib al-Arnauth). Dalam riwayat Baihaqi, ada tambahan: โDan jangan membawanya pulang.โ
Alasan Diberikannya Izin dari Syariat
Mengapa syariat mengizinkan mengambil buah atau susu ternak tanpa izin pemilik? Dalam Islam, tamu yang datang ke rumah seseorang memiliki hak untuk dijamu oleh tuan rumah. Jika tuan rumah tidak memberikan jamuan, tamu memiliki hak untuk meminta. Nabi ๏ทบ bersabda, โJamuan tamu itu selama tiga hari. Lebih dari itu statusnya sedekah,โ (HR. Bukhari 5673 & Muslim 48).
Demikian pula, pemilik kebun atau ternak memiliki kewajiban untuk memberikan izin kepada orang yang membutuhkan. Dengan izin dari syariat ini, orang yang melewati kebun atau gembalaan diperbolehkan memanfaatkan hasilnya meskipun pemiliknya tidak ada.
- Harta Milik Bersama
Contoh lain dari harta yang boleh dimanfaatkan tanpa izin adalah barang milik bersama atau milik umum, seperti pohon yang tumbuh di tepi jalan dan dimiliki oleh negara atau masyarakat. Pohon-pohon semacam ini diperbolehkan untuk diambil manfaatnya oleh orang yang lewat, tetapi tidak boleh dikuasai atau dimiliki secara pribadi.
Dasar hukum untuk memanfaatkan pohon milik umum ini diambil melalui analogi (qiyas aula) dari hadis sebelumnya. Jika buah dari pohon milik pribadi yang tidak dijaga dapat dimanfaatkan, maka pohon yang dimiliki secara umum, seperti yang tumbuh di pinggir jalan, lebih layak untuk dibolehkan.
Fatwa Islam menjelaskan bahwa mengambil buah dari pohon yang tumbuh di tepi jalan tidak menjadi masalah karena pohon tersebut dianggap milik umat Islam secara umum. Pohon yang tidak dipagari atau dijaga menunjukkan bahwa pohon tersebut diizinkan untuk dimanfaatkan dan buahnya boleh dimakan oleh siapa saja. (Fatwa Islam no. 87565).