Setibanya di Madinah, Rasulullah ﷺ tidak hanya membangun fondasi masyarakat Muslim, tetapi juga menjalin hubungan harmonis dengan berbagai komunitas, termasuk kaum Yahudi. Sebagai langkah awal untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas, beliau ﷺ menyusun sebuah piagam perjanjian yang disepakati bersama oleh semua elemen masyarakat. Namun seiring berjalannya waktu, sejarah mencatat bahwa sebagian pihak dari kaum Yahudi kerap mengingkari kesepakatan tersebut. Lantas, seperti apa bentuk pelanggaran itu?
Pelanggaran Perjanjian oleh Kaum Yahudi di Madinah
a. Tragedi Pasar Bani Qainuqa
Salah satu pelanggaran nyata dari pihak Yahudi terhadap perjanjian damai di Madinah terjadi melalui insiden di pasar milik Bani Qainuqa. Dalam kejadian ini, sekelompok pria Yahudi dilaporkan mengganggu sejumlah wanita Muslimah yang sedang berbelanja. Mereka tidak hanya mengejek dan mengolok-olok, tetapi juga melakukan tindakan tidak senonoh dengan menarik paksa jilbab salah satu wanita Muslimah hingga terbuka auratnya.
Merasa dilecehkan, wanita tersebut berteriak meminta tolong. Seorang Muslim yang mendengar jeritannya segera datang membela. Pertikaian pun tak terelakkan, dan akhirnya Muslim tersebut gugur dalam perkelahian tersebut. Insiden ini menjadi pemicu ketegangan yang serius antara kaum Muslimin dan Bani Qainuqa, dan dianggap sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap kesepakatan perdamaian.
b. Ka’ab bin Al-Ashraf: Provokasi Lewat Syair
Ka’ab bin Al-Ashraf adalah seorang tokoh keturunan Yahudi dari suku Bani Nadhir, yang dikenal karena kekayaannya dan kepiawaiannya dalam merangkai syair. Namun, kemampuannya dalam bersastra justru ia gunakan untuk menyebarkan hasutan dan kebencian terhadap Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat.
Ka’ab kerap membuat puisi yang merendahkan pribadi Rasulullah ﷺ serta menggambarkan para sahabat dan istri-istri mereka secara tidak pantas. Aksi provokatif ini tentu melanggar semangat perjanjian damai dan memperkeruh hubungan antara komunitas Yahudi dan kaum Muslimin di Madinah.
Perjanjian Kedua: Komitmen untuk Melindungi Kota Madinah
Perjanjian yang disepakati antara kaum Muslimin dan komunitas Yahudi mencantumkan kewajiban bersama untuk menjaga keamanan kota Madinah. Kedua pihak berkewajiban untuk saling menolong dan bersatu dalam menghadapi segala bentuk ancaman atau serangan dari luar, baik dari individu maupun kelompok yang ingin merusak stabilitas kota.
Pelanggaran: Konspirasi Bani Nadhir dan Bani Wa’il
Namun dalam perkembangan selanjutnya, sejumlah tokoh penting dari kalangan Yahudi seperti Sallam bin Abil Huqaiq, Hayyi bin Akhtab, Kinanah bin Abil Huqaiq, Hauzah bin Qais al-Wa’iliy, dan Abu Ammar al-Wa’iliy justru melanggar kesepakatan ini. Mereka pergi ke Makkah untuk bersekutu dengan kaum Quraisy musuh utama umat Islam saat itu.
Dalam pertemuan tersebut, mereka menghasut kaum musyrikin untuk menyerang Rasulullah ﷺ dan kaum Muslimin di Madinah. Mereka bahkan bersumpah akan ikut serta dalam perang hingga kaum Muslimin dapat dihancurkan. Kolaborasi ini berujung pada terjadinya Perang Khandaq, ketika berbagai kabilah Arab bersatu mengepung kota Madinah. Tindakan ini jelas merupakan bentuk pengkhianatan terhadap perjanjian damai yang telah disepakati sebelumnya.
Perjanjian Ketiga: Jaminan Keamanan Jiwa dan Harta
Dalam piagam perjanjian tersebut juga ditegaskan bahwa setiap individu, baik dari kalangan Muslim maupun Yahudi, memiliki hak atas perlindungan jiwa dan hartanya, tanpa memandang apakah mereka tinggal di dalam atau di luar wilayah Madinah. Jaminan ini menunjukkan bahwa perjanjian dibangun di atas asas keadilan dan perlindungan terhadap semua warga Madinah.
Pelanggaran Lanjutan terhadap Piagam Madinah
a. Rencana Pembunuhan Rasulullah ﷺ oleh Bani Nadhir
Salah satu bentuk pengkhianatan paling serius dari kaum Yahudi Madinah terjadi saat Rasulullah ﷺ mengunjungi Bani Nadhir untuk menyelesaikan sebuah urusan. Awalnya, kedatangan beliau ﷺ disambut secara terbuka. Beliau dipersilakan duduk bersandar di dinding rumah mereka, seolah menunjukkan keramahan.
Namun di balik keramahan itu, tersembunyi niat jahat. Beberapa tokoh Bani Nadhir diam-diam bersekongkol untuk menghabisi nyawa Rasulullah ﷺ. Mereka merencanakan untuk menjatuhkan sebongkah batu besar dari atap rumah tepat ke arah beliau ﷺ. Seorang pria bernama ‘Amr ibn Al-Jihasy mengajukan diri sebagai pelaksana rencana keji tersebut. Meskipun upaya ini akhirnya gagal karena Rasulullah ﷺ mendapat wahyu peringatan dari Allah, peristiwa ini mencatatkan pengkhianatan nyata yang melanggar perjanjian damai yang sebelumnya disepakati.
b. Menebar Permusuhan di Antara Kaum Muslimin
Pelanggaran lain dilakukan bukan hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga lewat adu domba dan provokasi sosial. Seorang tokoh Yahudi bernama Syasy bin Qais merasa terusik melihat keharmonisan antara dua suku utama di Madinah, yaitu Aus dan Khazraj. Mereka yang dahulu berseteru kini telah bersatu dalam Islam dan hidup rukun sebagai saudara.
Dipenuhi rasa iri dan kebencian, Syasy merancang siasat untuk mengadu domba mereka. Ia membisikkan hasutan kepada seorang pemuda Yahudi agar mulai memprovokasi kedua suku tersebut. Mereka kemudian menyusup ke dalam perkumpulan sahabat dari kalangan Aus dan Khazraj, lalu mulai membangkitkan kembali kenangan kelam Perang Bu’ats konflik berdarah yang dahulu pernah memecah belah kedua suku tersebut. Bahkan, mereka menyanyikan lagu-lagu lama yang biasa digunakan untuk menyulut emosi permusuhan.
Tujuan mereka jelas: merusak ukhuwah Islamiyah dan menciptakan keretakan di dalam tubuh umat Islam. Tindakan ini bukan sekadar fitnah, tetapi merupakan pelanggaran serius terhadap semangat dan isi piagam Madinah yang menuntut stabilitas dan persaudaraan antar-komunitas.
Perjanjian Keempat: Rasulullah ﷺ sebagai Penengah Perselisihan
Salah satu poin penting dalam Piagam Madinah adalah kesepakatan bahwa jika terjadi perselisihan antara kaum Muslimin dan komunitas Yahudi yang tidak bisa diselesaikan secara langsung, maka penyelesaiannya harus diserahkan kepada Rasulullah ﷺ sebagai pemimpin yang adil dan pemegang otoritas tertinggi di Madinah. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah konflik berkepanjangan dan menjaga stabilitas sosial antar golongan.
Pelanggaran: Monopoli Air di Masa Krisis
Dalam masa-masa sulit ketika Madinah dilanda kekeringan dan krisis air bersih, sebagian masyarakat sangat bergantung pada satu-satunya sumber air yang masih layak digunakanyaitu Sumur Raumah, yang kala itu dimiliki oleh seorang Yahudi. Air dari sumur ini dikenal jernih dan segar, bahkan digambarkan mirip dengan air zamzam.
Sayangnya, di tengah kesulitan umat, sang pemilik sumur justru memanfaatkan situasi dengan menetapkan harga tinggi bagi siapa pun yang ingin mengambil air. Tindakan ini sangat bertentangan dengan semangat saling membantu yang tertuang dalam perjanjian damai, terlebih ketika menyangkut kebutuhan dasar masyarakat.
Melihat kondisi umat yang terjepit, Rasulullah ﷺ pun mengajak para sahabat untuk membantu. Beliau bersabda,
“Wahai sahabatku, siapa yang menyumbangkan hartanya untuk membeli sumur itu lalu menyedekahkannya demi kemaslahatan umat, maka baginya surga dari Allah Ta’ala.” (HR. Muslim)
Ajakan mulia ini disambut oleh Utsman bin Affan, yang dengan segera menemui sang pemilik sumur dan menawar dengan harga tinggi demi membebaskannya. Setelah berhasil, beliau mewakafkan sumur Raumah untuk digunakan seluruh masyarakat secara cuma-cuma. Tindakan mulia ini menjadi teladan abadi dalam sejarah Islam, sekaligus menegaskan bahwa kepemimpinan Rasulullah ﷺ bukan hanya adil, tapi juga visioner dalam menyelesaikan konflik secara damai dan solutif.
Penutup Artikel
Jika di masa Rasulullah ﷺ saja terdapat begitu banyak pelanggaran terhadap perjanjian yang telah disepakati bersama, maka tidak heran jika di era sekarang pun hal serupa masih terjadi dalam berbagai bentuk. Sejarah bukan sekadar kisah masa lalu, melainkan cermin dan pelajaran berharga bagi umat Islam agar tetap waspada, bersatu, dan menegakkan keadilan dengan cara yang dibenarkan oleh syariat.