ntuk memahami akar dari penjajahan Israel di Palestina saat ini, kita perlu menelusuri jejak sejarah bangsa Yahudi. Dalam Fiqh Sirah, Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy menggambarkan kondisi kota Madinah sebelum kedatangan Rasulullah ﷺ. Saat itu, Madinah dihuni oleh dua kelompok besar: bangsa Arab dan bangsa Yahudi.
Bangsa Yahudi bermigrasi ke Madinah setelah melarikan diri dari kekejaman Raja Babilonia, Nebukadnezar. Mereka menetap di sana dengan satu keyakinan: menanti kedatangan Nabi terakhir yang disebut dalam kitab mereka.
Sementara itu, bangsa Arab di Madinah terbagi ke dalam dua suku besar, yaitu Aus dan Khazraj, yang terlibat dalam peperangan berkepanjangan selama lebih dari satu abad. Konflik ini tidak berdiri sendiri. Bangsa Yahudi, yang menyatakan diri sebagai sekutu, justru memainkan peran di balik layar: menyuplai senjata, logistik, dan mengadu domba kedua suku.
Suku Aus saat itu beraliansi dengan Bani Quraizhah, sedangkan suku Khazraj bersama Bani Qainuqa—keduanya adalah bagian dari tiga suku besar Yahudi di Madinah. Titik klimaks dari pertikaian ini terjadi dalam Perang Bu’ats, yang menewaskan banyak tokoh penting dan menciptakan luka mendalam di tengah masyarakat Madinah.
Penjajahan Israel di Palestina Sampai Ancaman Yahudi dan Persiapan Madinah Menyambut Islam
Konflik yang terjadi di Madinah kala itu tidak hanya berlangsung antara sesama suku Arab. Ketegangan antara bangsa Arab dan Yahudi juga kerap muncul. Dalam beberapa peristiwa, kaum Yahudi bahkan menggunakan ancaman psikologis kepada bangsa Arab. Mereka mengatakan bahwa Nabi akhir zaman akan segera datang, dan ketika saat itu tiba, mereka—kaum Yahudi—akan menjadi pengikut setia sang Nabi dan akan memerangi bangsa Arab, sebagaimana para nabi terdahulu membinasakan kaum seperti ‘Aad dan Iram.
Situasi inilah yang oleh Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam kitab Zadul Ma’ad disebut sebagai bentuk “penyiapan jiwa”. Kota Madinah secara sosial dan spiritual tengah disiapkan oleh Allah sebagai tempat yang layak untuk menerima cahaya kenabian. Setelah berpuluh tahun dilanda konflik dan kehausan akan kebenaran, masyarakat Madinah menjadi lebih terbuka terhadap jalan perdamaian dan petunjuk ilahi.
Oleh karena itu, ketika Rasulullah ﷺ bertemu dengan sekelompok penduduk Madinah pada musim haji dan bertanya, “Apakah kalian hidup bersama kaum Yahudi?”, mereka pun menjawab dengan penuh semangat. Mereka duduk mendengarkan seruan Islam, dan berjanji akan kembali di tahun berikutnya untuk menjumpai beliau lagi. Sebuah awal dari babak baru—dimulainya kebangkitan Islam dari kota yang penuh luka, namun siap menerima cahaya.
Dari Ancaman Menjadi Harapan: Madinah dan Awal Kebangkitan Islam
Ketika mendengar seruan Rasulullah ﷺ, para penduduk Madinah menyadari bahwa inilah Nabi yang selama ini disebut-sebut oleh orang-orang Yahudi. Mereka berkata, “Demi Allah, dia adalah Nabi yang dijanjikan oleh kaum Yahudi. Jangan sampai mereka mendahului kita.” Bahkan dengan harapan penuh, mereka berkata, “Semoga dengan Anda, Allah akan mempersatukan kami kembali.”
Ucapan ini menandai titik balik sejarah. Kota Madinah, yang sebelumnya sarat dengan konflik suku dan adu domba, berubah menjadi pusat kekuatan Islam. Mekkah, yang masih berada dalam cengkeraman penindasan kaum musyrik, perlahan mulai tergeser perannya sebagai pusat spiritual.
Perubahan besar ini menjadi bukti nyata dari apa yang disebut oleh Ibnul Qayyim sebagai “penyiapan jiwa”. Justru dari konflik panjang dan kelicikan kaum Yahudi, hati penduduk Madinah dibuka untuk menerima petunjuk kebenaran. Dalam konteks sejarah yang lebih luas, kita melihat bahwa penjajahan, kekejaman, dan pengkhianatan kadang menjadi jembatan menuju kesadaran dan kebangkitan spiritual yang lebih tinggi.
Penjajahan Palestina: Penyiapan Jiwa Menuju Kebangkitan Peradaban Islam
Hari ini, dunia menyaksikan penderitaan rakyat Palestina di bawah penjajahan Israel yang brutal. Kekejaman, ketidakadilan, dan penghinaan terhadap kemanusiaan terus terjadi di hadapan mata dunia. Namun di balik luka yang mendalam itu, umat Islam bisa jadi tengah memasuki babak baru dalam sejarah peradabannya.
Sebagaimana penduduk Madinah dulu—yang setelah diperdaya dan dipecah-belah oleh kaum Yahudi akhirnya terbuka hatinya untuk menerima Islam—umat Islam hari ini pun tengah ditempa oleh penderitaan yang sama. Penderitaan yang membangkitkan kesadaran, menguji kesabaran, dan mempersiapkan jiwa.
Penjajahan Israel atas Palestina bukan sekadar konflik wilayah, melainkan bagian dari proses panjang penyiapan ruhani umat untuk menyambut kebangkitan Islam yang lebih besar dan menyeluruh. Sebuah kebangkitan yang bukan hanya membebaskan tanah, tetapi juga membangunkan hati dan menyatukan umat.